Kamis, 31 Januari 2013
Senin, 14 Januari 2013
Sejarah Perkembangan Agama Islam di Banten
Ø SEJARAH ISLAM MASUK KE BANTEN - SEBELUM ISLAM
BERKEMBANG DI BANTEN
Sebelum Agama Islam
berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan
tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu
berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam
bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan
lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan
masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir
Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya
dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal
dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya
Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam
daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan
Islam, karena Banten
mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan
sejarah yang amat berharga ini namaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan
dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah
Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih banyak
hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.
Ø
KEADAAN BANTEN PRA ISLAM
Daerah Banten memiliki
beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah
ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten
hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah
ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang
mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh
peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi
lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan
masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa
kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng
gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa
Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis,
batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya.
(Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu
yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi
penduduk Banten.
Hal ini terlihat dengan
ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo
Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para akhli belum lengkap.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para akhli belum lengkap.
Ø SEJARAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI BANTEN
BANTEN |
Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh
dalam penyebaran Islam di Banten, karna beliau adalah seorang Sultan yg pertama
kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten, beliau mendirikan Kseultanan
Banten, bahkan beliau mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin, gelar tersebut di
persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten
Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari
Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang
sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.
Prabu
Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada anaknya,
yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di
mana pada masa itu Arya Surajaya menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah
kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati di Cirebon, karna
Pangeran Cakrabuana wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Bupati di
Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya, Hasanuddin
memilih menjadi Guru Agama Islam di Banten, bahkan beliau di kenal memiliki
banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh menjadi
Syaikh Hasanuddin.
Meskipun
beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah di Cirebon
untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas
dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di
Banten.
“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa.
Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau
sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya
berpamitan kembali ke Banten.
Setiba di Banten, Syaikh
Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya,
beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung
Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung
Kulon.
Pada masa
pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun dan Sultan
Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh Masyarakat, Prabu
Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan (agama
Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian
dengan Syaikh Maulan Hasanuddin, beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan
Lancar.
Namun
pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin untuk
berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karna jika
berperang secara duel akan menimbulkan korban yg banyak, itulah alasan Prabu
Pucuk Umun mengapa berperang beradu ayam karna tidak ingin menimbulkan banyak
korban.
“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin
menyebarkan Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu
berhasil memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang
akan kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus
menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba
menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.
Prabu Pucuk Umun memilih
tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang, karna di anggap sebagai
tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai
mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya
membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan
menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa
senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa
Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh
Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya yakni Sunan
Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.
Setiba di
arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena dengan
mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan
ikat kepala. Sementara itu, Syaikh Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi
selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala.
Sebelum
pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago
tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu
Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik
Maulana Hasanuddin tidak dipasangi
senjata apapun,
tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan
air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula
ayat-ayat suci Alquran.
Konon, ayam jago milik
Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus
penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di
Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia
mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Akhirnya
pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan
semangat kepada jagoannya masig-masing.
Tiba-tiba
ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam
jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung
Pucuk Umun pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung Syaikh Maulana Hasanuddin
melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Syaikh Maulana Hasanuddin!
Hidup Syariat Islam!”
Akhirnya, Syaikh Maulana
Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umun pun mengaku
kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat
seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas
kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan
kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan
kesepakatan kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus
menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umun.
Setelah itu, Prabu Pucuk
Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten
Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim
di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu
Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan
yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini
dikenal sebagai suku Baduy.
Sedangkan
para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan
Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin. Dengan
demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam
menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat
oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di
Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir
utara Pulau Jawa.
Selanjutnya,
karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat
di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian
Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin
sebagai sultan pertama.
Pada
tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan
pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia 48
tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa
pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang
menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin
menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten
beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya,
Hasanudin membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan
administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton
Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama
Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini
diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul
Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.
Kini Banten telah di akui di berbagai wilayah
bahkan sampai ke daerah eropa maupun asia, banten juga sempat di sebut sebagai
Amsterdam karna banten adalah pusat perdangan terbesar, banten juga terkenal
akan kebudayaannya yang mencolok classic sangat mengundang para tamu untuk
melihatnya.
Selasa, 08 Januari 2013
Syekh Maulana Mansyuruddin Cikadueun – Pandeglang
PANDEGLANG, Bila anak bangsa sudah mulai melupakan sejarahnya, maka hilanglah kebesaran generasi bangsanya. Manusia adalah makhluk pelupa. Kemarin seharusnya menjadi sejarah hari ini. Hari ini menjadi sejarah esok hari. Dan esok menjadi sejarah untuk lusa yang lebih baik. Begitu seterusnya tiada berkesudahan. Tapi ternyata tidak berlaku untuk manusia-manusia pelupa. Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan betapa signifikannya peran-peran Ulama dan Santri. Para Ulama dan Santri sudah memperhatikan sejarah mereka di esok hari. Tinggal kita sekarang, apakah akan melanjutkannya atau tetap nyaman menjadi manusia-manusia amnesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang mana fondasinya sudah dipancangkan kuat oleh para Ulama dan Santri. Dan tidak akan cukup kalau kita menuliskannya dalam lembaran artikel sederhana ini. Setidaknya, gambaran sederhana di atas bisa memantik kesadaran kolektif kita tentang sejarah.
Berikut ini sebuah tulisan yang dibuat oleh Ahmad Zarnuji didalam blognya , mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi referensi bagi generasi-generasi muda.
———————————————————————–
Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke 6). Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan beliau diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu.
Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang (Tubagus Bu`ang), beliau adalah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke 2) dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa.
Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli China, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain menjadi seorang Sultan beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya.
Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten (Nyi Mas Ratu Sarinten) dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus.
Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bai`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara “Saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya”. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama Si Pincang atau Raden Langlang Buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah :
1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa
2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana
3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang
4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya
5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri
6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang.
Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Keterangan :
- Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan Kecamatan Tirtayasa Kawadanaan Pontang Serang Banten.
- Cibulakan terdapat di muara sungai Kupahandap Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang Banten
- Makam Cicaringin terletak di daerah Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten
- Ujung Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur Kawadanaan Cibaliung kebupaten Pandeglang Banten
- Gunung Anten terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung
- Pakuan Lumajang terletak di Lampung
- Gunung Pangajaran terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat latihan silat macan.
- Majau terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes Pandeglang Banten
- Mantiung terletak di desa sumur batu kecamatan Cikeusik Kewadanaan Cibaliung Pandeglang.
- Ki Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung kecamatan Cimanuk Pandegang Banten.
Langganan:
Postingan (Atom)